Friday, August 5, 2016

Kelana si Kembang Asem : Macan Tutul Jawa

di tulis oleh: Sundah Bagus Wicaksono
e-mail : sbw_genetiq@yahoo.com

Macan Tutul yang tertangkap camera jebak

Sebagai seorang pengagum felids atau kucing-kucingan saya sangat antusias untuk mempelajari lebih jauh akan makhluk cantik nan eksotis ini. Jika dilihat dari persebaran subspesiesnya terbersit pertanyaan di benak saya, mengapa mereka bisa melanglangbuana sampai ke pulau Jawa, padahal mereka tidak ditemukan di pulau-pulau Indonesia yang lain bahkan Sumatera dan Bali atau Kalimantan sekalipun? Tidak seperti tiga kerabat besarnya yang lain (singa, harimau, dan jaguar) yang memiliki persebaran linear serta beraturan di tiap benua. Apakah ini salah satu contoh hasil survival dari mereka?
Perlu lagi kita ketahui bahwasannya negara kita dikaruniai satu dari beberapa subspesies mereka, namun perhatian kita selalu luput darinya dan melihat kepada spesies lain yang kita anggap jauh lebih penting untuk dipedulikan. Mungkin sebagian orang tidak mengetahui bahwa mereka termasuk satwa yang tergolong langka dan hampir hilang eksistensinya di bumi. Organisasi Konservasi Flora-Fauna Dunia; IUCN (International Union for Conservation of Nature) menyatakan bahwa status mereka sangat kritis saat ini, sama seperti sepupu lorengnya di Sumatera. Jumlahnya di alam tidak lebih dari 400 ekor yang tersebar di seluruh pulau Jawa.
Hampir sama seperti kasus di India, mereka sering terlibat konflik dengan manusia karena berbagai faktor. Banyak sekali informasi yang didapat tentang masuknya mereka ke kampung dan memangsa ternak lalu berakhir dengan kematian karena dibantai. Kita telah kehilangan dua subspesies kucing besar sekarang, apakah iya kita harus kehilangan satu lagi? Seyogyanya perhatian kita kepada mereka tidak kalah dibanding satwa langka yang lain dan selalu menjaga kelestariannya untuk masa depan. Menurut saya, sang raja hutan celingus dari Jawa ini adalah subspesies yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.

“Satwa ini dianggap setan karena menjadi makhluk yang jarang dan sulit untuk dijumpai secara langsung.”

Sedikit cerita saya mengenai satu kejadian dimana macan tutul Jawa masuk kampung dekat hutan Petungkriyono dan membuat heboh seisi kampung. Kisah ini saya dapat dari penuturan salah seorang warga kampung tersebut. Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) atau orang dusun tesebut biasa menyebutnya macan kembang asem merupakan satu-satunya spesies kucing besar yang hingga saat ini masih hidup di tanah Jawa dan diisukan pernah berkeliaran di sekitar hutan Petungkriyono. Menurut Pak Kliwon, salah seorang warga Dusun Tinalum, satwa ini dianggap setan karena menjadi makhluk yang jarang dan sangat sulit dijumpai secara langsung, namun segelintir orang mengaku pernah berpapasan dengannya.
Di awal tahun 2000 dikabarkan bahwa ada kembang asem turun gunung lalu masuk ke pemukiman dan memangsa ternak milik warga. Adalah Dusun Sokokembang, sebuah dusun yang berada di Desa Kayupuring, Kec. Petungkriyono, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah yang menjadi sasaran si kembang asem. Dusun ini adalah tetangga sebelah dari Dusun Tinalum. Selain menyerang ternak milik warga, kembang asem yang keluar dari persembunyiannya ini juga membuat resah warga kampung sehingga warga menjadi takut untuk melakukan aktivitas keseharian mereka apalagi di malam hari. Setelah beberapa hari kembang asem meneror, maka tekad warga untuk menangkapnya semakin bulat.
Petang menjelang. Setelah hewan peliharaan milik warga diamankan ke kandang, segeralah para bapak dan remaja lelaki bersiap diri di rumah masing-masing dengan beberapa alat pertahanan diri dan penangkap. Beberapa rumah menjadi sukarelawan penyedia umpan seekor ayam untuk memancing si kembang asem keluar. Benar saja setelah beberapa saat ditunggu, seekor ayam salah seorang warga mulai mengeok, layaknya di terkam sesuatu. Aba-aba inilah yang dinantikan oleh warga kampung untuk segera melakukan penggerebekan. Pertama-tama pemilik rumah yang mendapati umpannya diterkam memberitahukan ke tetangganya yang tidak terlalu jauh untuk memberi kabar ke semua warga kampung agar keluar rumah untuk bersiap melakukan eksekusi.
Satu persatu warga berdatangan menuju rumah yang mendapati umpannya telah dimangsa. Dengan langkah pelan mereka berjalan mendekati rumah tersebut dengan tujuan agar kehadiran mereka tidak terdeteksi si kembang asem. Setelah bersiap di posisi masing-masing, salah seorang warga memberanikan diri untuk mendekati kandang ayam yang di duga menjadi tempat kembang asem menyantap hidangannya. Berhasil. Seorang warga tadi berhasil melakukan penyerangan kepada kembang asem tepat dibadannya menggunakan sebilah kayu. Brukkk! Di bagian samping perut lah sebilah kayu tersebut mengenai. Sontak saja, si kembang asem langsung berlari menuju ke luar kandang. Karena menemukan jalan buntu akibat dihadang warga dan tidak bisa kabur kembali ke hutan, akhirnya kembang asem ini memilih masuk ke salah satu rumah warga yang aksesnya masih terbuka. Untung saja sudah tidak ada orang di dalamnya. Sorak riuh suara warga menambah ketegangan Dusun Sokokembang malam itu. Seperti sedang ada peristiwa pencurian atau pembunuhan.

“Dikarenakan tubuh sudah tidak bisa bergerak maupun meronta oleh jepitan bambu, maka dengan sekali ayunan tepat mengarah ke kepala lah kembang asem malang ini tumbang.”

Setelah hampir satu jam si kembang asem bersembunyi, warga pun beraksi lagi. Sekarang banyak dari warga yang memberanikan diri menjadi relawan untuk melakukan penyergapan langsung, karena mereka tahu bahwa si kembang asem saat ini telah terluka. Eksekusi dimulai kembali. Rumah yang dimasuki kembang asem dikunci dan ditutup rapat dari luar sehingga kembang asem tidak bisa lagi kabur. Warga memasukkan bambu-bambu panjang yang telah dipersiapkan untuk mengantisipasi tubuh kembang asem meronta melalui beberapa celah rumah yang memang bolong dan tidak tertutup. Tidak mudah, namun dengan masuknya kembang asem di bagian dalam rumah yang sempit menjadikan warga lebih mudah melakukan penggencetan badan. Sekali-dua kali kembang asem meronta, mungkin karena rasa takut dan luka memar yang menimpanya. Si kembang asem ini seperti kehilangan tenaga dan jarang sekali melawan. Dengan nafas terengah-engah dan sedikit merinding, seorang warga bersiap memukul dengan tongkat kayu yang lumayan keras tepat ke arah kepala. Dikarenakan tubuh sudah tidak bisa bergerak oleh jepitan bambu, maka dengan sekali ayunan tepat mengarah ke kepala lah kembang asem malang ini tumbang. Ya, macan tutul tersebut mati seketika dengan cedera parah di bagian belakang kepalanya.
Penggerebekan kasus pencurian telah usai dengan akhir kematian si kembang asem. Seakan teror yang dilakukan oleh kembang asem di Dusun Sokokembang lenyap seketika malam itu. Warga memastikan macan tutul tersebut telah mati. Satu per satu warga masuk ke dalam rumah eksekusi, menyeret, dan mengarak tubuh lemas si kembang asem keliling kampung, menandakan mereka berhasil menang mengalahkankan lawannya. Gembira, takut, lega, dan tentu saja rasa geram warga kampung menyulut aksi mereka untuk mulai menyembelih, menguliti, hingga beberapa ada yang memasak dagingnya untuk dimakan. Entah kenapa euphoria kemenangan warga kampung menjadikan mereka melakukan hal tersebut. Dengan adanya peristiwa malam itu menjadikan Dusun Sokokembang kembali aman dan tidak ada lagi cerita heboh oleh ulah kembang asem lain yang dapat meresahkan warga. Selama beberapa tahun warga tidak menjumpai lagi keberadaannya di sekitar hutan dan juga sangat jarang ada cerita warga bertemu langsung dengannya. Sekali lagi kembang asem menjadi setan.

“Selama beberapa tahun warga tidak menjumpai lagi keberadaan macan tutul di sekitar hutan dan juga sangat jarang ada cerita warga bertemu langsung dengan macan tutul. Sekali lagi kembang asem menjadi setan.”

Pada pertengahan tahun 2015 kemarin, tepatnya bulan Mei-Juni, kami tim peneliti dari UGM melakukan penelitian tentang Mamalia Kecil di Hutan Petungkriyono. Kami memulai survei dengan menulusuri habitat hutan kopi  di sekitar Dusun Tinalum dan Dusun Sokokembang, dusun yang telah dan sedang dikenal melalui kegiatan pelestarian Owa Jawa melalui Proyek Kopi dan Konservasi Primata. Di hutan di sekitar dusun ini kami, kemudian kami memasang jebakan kamera (Camera trap), di titik-titik yang telah kami survey sebelumnya.Untuk meminimalisir kesalahan dalam identifikasi maka camera trap kami setting menjadi mode video.
Lama menunggu, hasil video dari rekaman camera trap yang di dapat tidak tanggung-tanggung. Banyak sekali ternyata jenis fauna yang mendiami hutan Petungkriyono. Sebagian besar dari mereka bersifat nokturnal (aktif dalam melakukan aktivitas di malam hari) dan beberapa ada yang diurnal (aktif di siang hari).

Akan tetapi dari ratusan video yang dihasilkan hanya dua video lah yang membuat tim terkesima, khususnya saya yang benar-benar terkesima. Masing-masing video tersebut merekam satu spesies satwa yang terlihat sedang melintasi jalan setapak buatan warga untuk masuk hutan. Satu video agak kurang jelas karena posisi objek yang terlalu dekat dan satunya lagi sangat jelas. Satwa tadi memiliki ciri-ciri yang familir bagi saya. Satwa tersebut jelas dari kalangan karnivora. Rambutnya berwarna dasar kuning kejinggaan dengan pola tutul roset hitamnya dan bagian ujung ekor yang menghitam. Ya, indah sekali, sangat memanjakan mata. Tidak salah lagi ini adalah penampakan macan tutul Jawa alias sang raja celingus alias kembang asem. Walaupun bagian tubuh si kembang asem yang terekam di video tersebut hanya tampak belakang dan atasnya saja akan tetapi dapat dipastikan kalau satwa ini benar-benar Panthera pardus melas. Rasa lelah saya terbayarkan. Bukan main senangnya saya bersama tim mendapatkan hasil bonus dari penelitian yang lumayan mengerakan tenaga dan pikiran ini.

“Satwa tersebut jelas dari kalangan karnivora. Rambutnya berwarna dasar kuning kejinggaan dengan pola tutul roset hitamnya dan bagian ujung ekor yang menghitam. Ya, indah sekali, sangat memanjakan mata.”

Kedua video kembang asem tadi diambil dari camera trap yang terpasang tidak jauh dari pemukiman penduduk. Dengan melihat akses pergerakannya menggunakan jalan setapak milik warga, sebenarnya kembang asem tersebut sehari-hari hidup berdampingan dengan mereka hanya saja enggan untuk menampakkan diri. Mengapa kembang asem tersebut memakai jalan setapak milik warga untuk masuk ke hutan sebagai pergerakannya? Sebab spesies-spesies satwa karnivora seperti kucing-kucingan atau musang-musangan diketahui memang sering memakai jalur lintasan yang relatif terbuka dari tetumbuhan untuk pergerakan, seperti halnya kita bila berjalan di atas rumput, terasa risih dan geli di kaki dan lebih memilih berjalan di atas tanah kosong. Selain itu memang beberapa hari sebelum kembang asem tersebut melintas camera trap merekam video kijang betina yang kelihatannya bunting sedang lewat. Kemungkinan ini yang menarik perhatian si kembang asem untuk berada disana. Menurut beberapa ahli felids dunia, spesies macan tutul dan jaguar berburu mangsanya dengan trik stalker (membuntuti) dan mulai menyerang disaat mangsanya lengah.
si Kembang asem
Adanya rekaman dari dua video ini menjadi bukti nyata bahwa kembang asem masih bernafas bebas di seputar masyarakat sekitar hutan Petungkriyono. Meski sekarang kembang asem hadir di dekat warga kampung disaat melakukan aktivitas keseharian tanpa sepengetahuan mereka namun kembang asem tersebut tidak akan mengganggu. Tidak seperti dulu. Seolah-olah mereka berdua mengerti jika hidup berdampingan dan saling memahami satu sama lain adalah tujuan hidup yang harmonis. Penuturan warga kampung yang berpapasan langsung dengan kembang asem kini mulai bermunculan. Kisah kembang asem yang telah hilang ditelan zaman hingga hampir satu dekade ini pun akhirnya kembali. Tidak menjadi raja hutan yang celingus lagi.

2 comments: