Wednesday, February 24, 2016

Jalak Lawu, nyanyian syahdu di hutan bisu

Di tulis oleh : Asman Adi Purwanto


suara burung Ceret Gunung

Hawa dingin langsung menyeruak menyerang kami yang datang dari dataran rendah, ketika kami datang di Cemoro Kandang. Suhu 13 – 14 derajat celcius saja sudah cukup membuat kami seperti kucing takut dengan air. "Tim monyet "SwaraOwa datang ke Cemoro Kandang di Lereng Selatan Gunung Lawu untuk melakukan pendataan kemungkinan adanya Surili Jawa atau yang biasa kami sebut dengan nama Rekrekan (Presbitys comata)

Saya mungkin satu-satunya anggota tim yang lebih fokus pada kegiatan pengamatan dan konservasi burung. Menjejakan kaki di Lawu adalah yang pertama kali buat saya. Berharap bisa mendapatkan banyak catatan baru yang tidak saya temukan di gunung – gunung lain di Pulau Jawa. Ceret Jawa (Locustella montis ) dan tentu saja sang legenda Jalak Gading atau Anis Gunung (Turdus poliocephalus stresemanni) mejadi target saya disela-sela mencari keberadaan primata endemik Jawa.

Suara-suara burung sudah mulai terdengar dari basecamp cemoro kandang tempat kami nge-pos. Beberapa jenis merupakan suara dari jenis burung yang sudah pernah kami jumpai sebelumnya sehingga bagi kami suara tersebut sudah tidak asing. Dan, kami bisa langsung mengenali suara tersebut. Begitu juga sepanjang jalur pendakian dan jalan setapak yang kami telusuri suara-suara burung dari yang kami kenal sampai dengan suara yang menurut kami masih asing menjadi penyemangat kami mencari keberadaan rekrekan (Presbytis comata) dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus). Beberapa suara burung yang belum kami kenali, kami mencoba untuk merekam untuk kepentingan identifikasi.

Ceret Gunung (Cettia vulcania)merupakan burung yang paling umum. Di semua jalur yang kami masuki, kami selalu menemukan jenis tersebut. Awalnya saya pikir itu Ceret Jawa (Locustella montis) ternyata setelah yang punya suara keluar dari semak belukar langsung ketahuan. Dan,  ceret jawa yang menjadi target saya, saya hanya mendengarkan suaranya saja tanpa melihat langsung wujud aslinya.

Di jalur cemoro kandang hal menarik lainnya selain melimpahnya jenis ceret gunung, kami juga menemikan aktifitas Ciu Besar (Pteruthius flaviscapis) yang membawa mangsa di paruhnya dan selalu mengeluarkan suara peringatan. Jantan dan Betina ciu besar selalu bersamaan mengeluarkan suara ketika ada kami dilokasi dimana kami juga menemukan suara Lutung Jawa dihari pertama. Asumsi kami sepasang burung tersebut sedang dalam masa berbiak dan posisi sarang bisa jadi ada di lokasi itu.
Jalak Lawu


Tidak kami cari, keberuntungan datang, si Jalak gading,  atau Jalak Lawu pun akhirnya, menampakan diri dan langsung beraksi di depan camera. Burung ini adalah salah satu ras burung kicau dari marga Turdidae,  yang hanya ada  di G.lawu tidak di jumpai  di tempat lain.

Sekitar 20 jenis burung yang kami jumpai dalam waktu 4 hari, dengan jumlah jenis burung yang kami temukan justru  menjadi keheranan bagi kami. Mengapa demikian?

Hutan lereng selatan gunung lawu memiliki tipe habitat hutan hujan tropis dengan vegetasi yang masih sangat bagus. Bahkan lebih bagus dari Merbabu. Dengan kondisi demikian, ekspektasi kami pada saat berangkat kami dapat menjumpai jenis satwa yang cukup melimpah, mulai dari aves sampai mamalia. Akan tetapi dugaan kami meleset, hutan begitu sepi dari suara burung, jejak mamalia baik jejak kaki dan kotoran, yang ada hanya jejak roda sepeda motor.
Mungkin hal ini terjadi akibat dari dampak penangkapan burung yang cukup tinggi di kawasan tersebut. Pak Kholil, mantri perhutani wilayah magetan dalam obrolan santai mengatakan masih saja ada orang-orang tak bertanggung jawab masuk ke kawasan lawu untuk menangkap burung.
“Yang masuk menangkap burung ya ada saja, mas. Mereka masuk melalui jalan-jalan setapak yang jauh dari pantauan kami”. Jelas pak Kholil, dan keterbatasan personel untuk mengamankan kawasan yang luas.

Kegiatan perburuan satwa mempunya dampak yang sangat besar terhadap populasi satwa di alam khususnya burung. Hilangnya burung burung ini juga mengakibatkan peran penting dari burung tersebut juga hilang. Sudah nyata, menikmati kicauan burung di hutan tidak lagi terdengar, fungsi burung sebagai pengendali hama, sudah dirasakan petani, dan fungsinya digantikan dengan pestisida kimia. 
Dari beberapa pengalaman kami mengunjungi beberapa kawasan hutan yang memiliki intensias penangkapan burungnya tinggi, hutan – hutan menjadi sunyi sekan bisu, " Empty forest syndrome” .

Melalui kegiatan survey surili jawa ini, kami berharap dan mengajak semua pihak untuk berpartisipasi aktif menjaga ekosistem Gunung Lawu. Hal itu disambut baik oleh Komunitas Anak Gunung Lawu  (AGL)  yang mengharapkan hasil dari kegiatan ini dapat menjadi rujukan mereka dalam berkontribusi nyata melestarikan kawasan lawu khususnya di kawasan cemoro kandang hingga ke Puncak Lawu. 

1 comment:

  1. Suara yang di Upload di Artikel ini ternyata suara Ceret Gunung (Cettia vulcania) suara ceret jawa ternyata yang "krrriuuk,krriuuuk",.

    ReplyDelete